31 Juli 2008

STOP PRESS

Kasus Solar Ramayana Berlanjut

Rahmad jadi ‘Kambing Hitam’?

Bontang,- Ramayana Dept Store cabang ke 102 di Kota Bontang, Kalimantan Timur, yang ditengarai menggunakan solar subsidi, kini kasusnya berlanjut. Surat perintah penangkapan (SPP) terhadap pemasok dan pihak Ramayana pun turun. Bukan dari Reskrim Polres Bontang. Tapi dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Jakarta.

Menurut keterangan humas Pertamina Pusat ketika dihubungi, PPNS sebuah lembaga dibawah Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. Penyidik yang satu ini berkantor di Plaza Centris, Kuningan, Jakarta. Dikatakan, PPNS ini adalah kumpulan petugas dari Dirjen Migas, Kementrian ESDM, BPH Migas dan Kepolisian. Lembaga inilah yang bertugas menangani penyalahgunaan BBM bersubsidi.

Ani Endang dan Rahmad dijerat Undang-undang Migas no.22 Tahun 2001 Pasal 55, dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara. Pemasok, Ani Endang, ditangkap terlebih dahulu. Yang anehnya, dari pihak Ramayana, yang ditangkap hanyalah seseorang yang menjabat sebagai kepala toko, Rahmad namanya. Rahmad didakwa sebagai pelaku penggunaan solar subsidi untuk Ramayana Dept Store itu.

Padahal siapa Rahmad, sehingga dia bisa memutuskan untuk melakukan bargaining (tawar-menawar,-red) dengan pemasok, bila tidak mendapat mandat, walau hanya lisan. Siapa sih Rahmad, sehingga dia bisa memutuskan satu transaksi yang bernilai ratusan juta Rupiah perbulannya, kalau tidak mendapat ‘restu’ dari manajemen Ramayana. Siapa sih Rahmad itu, hingga agreement (kalau pun ada-red) atau kesepahaman/kesepakatan dalam bentuk apapun, dapat ia tandatangani kalau tidak dalam bentuk ‘on behalf of’ atau mewakili PT Ramayana Tbk. Yang pastinya ada approval atau persetujuan manajemen dan disaksikan oleh (reviewed by) Komisaris PT Ramayana Tbk. Karena nilai transaksi ratusan juta Rupiah.

Di PT Ramayana Tbk, keputusan untuk pembelian puluhan ton solar dalam sebulan itu kudu/wajib diketahui dan disetujui orang pusat. Dalam hal ini oleh Iwan dan Lukito, yang mewakili manajemen Ramayana. Bukan itu saja, dalam dokumen pembelian dan pembayaran juga harus ada approval/Acc/persetujuan komisaris/direksi, dalam hal ini oleh Ichbal, selaku direktur umum. Nah, setelah ‘benteng-2’ itu terpenuhi, pembelian solar senilai ratusan juta itu baru dapat dibayarkan.

Wajar saja Rahmad kebakaran jenggot. Wong dia cuma karyawan yang makan gaji. Lagi pula apa sih untungnya buat Rahmad. Wong semua transaksi Bank to Bank dengan invoice satu bulan. Belakangan muncul sinyalemen, Rahmad punya saudara yang ber-bintang dua di Mabes Polri. Nah, kini giliran Ramayana yang kebakaran jenggot. Ujug-ujug Ramayana pusat awal April 2008, mengutus dua orang ke Bontang. Entah urusan apa. Tapi disinyalir kedatangan mereka untuk mengupayakan pembebasan Rahmad. Mohan Hutabarat, staff khusus manajemen dan Kombes (Purn) Winarno, selaku kepala sekuriti Ramayana pusat. Upayanya jelas tidak berhasil. Mungkin karena SPP datang dari PPNS, Jakarta. Selain itu karena kasus ini bersentuhan dengan UU Migas maka Kejagung dan Mabes Polri bakal terus memantau kasus ini.

Selang seminggu, pertengahan April, dua orang itu datang lagi. Winarno hanya sampai Balikpapan, tidak ke Bontang. Kabarnya membawa katebelece dari oknum ber-bintang dua itu di Mabes Polri. Kemungkinan untuk Kapolda Kaltim, yang notabene sama-sama ber-bintang dua. Namun ketika New-Eksekutor mencoba menghubungi Kapolres, AKBP Dono Indarto SIK, ia pun ternyata sedang berada di Balikpapan.

Ketika dikonfirmasi ada upaya-upaya membebaskan Rahmad karena punya ‘orang kuat’ di Mabes Polri, Dono balik bertanya, “Kata siapa? Koq anda tahu?” Selanjutnya dia menegaskan proses kasus ini akan terus berjalan. “Kasus ini sedang dalam proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dan akan terus berjalan,” Tegas Dono seraya mengakhiri percakapan.

Selanjutnya New-Eksekutor menyambangi Prayitno, Kasipidum Kejari Bontang untuk konfirmasi. Prayitno mengakui penangkapan Ani Endang dan Rahmad, karena surat tembusan dari PPNS juga sampai ke mejanya. Pada kesempatan itu, Eksekutor menyerahkan draft berita yang berjudul “Ramayana Ditengarai Gunakan Solar Subsidi.” Dia tertarik, dia minta satu kopi. Katanya,”Kalau di BAP nanti tidak seperti ini, saya akan kembalikan.” Benar saja, BAP yang sudah dibuat Polres Bontang, sampai beberapa kali bolak-balik. Dan menurut seorang polisi penjaga sel tahanan Polres Bontang, Ani Endang dan Rahmad sudah beberapa kali diperiksa ulang, bahkan hingga tengah malam.

Pengadilan pun digelar. Pada sidang-sidang awal Winarno setia mengunjungi. Namun melalui sidang ini terbukti Rahmad mengajukan invoice dengan hanya melampirkan kuitansi pembelian. Aneh bukan. Tapi sepertinya tidak bagi menajemen Ramayana. Karena tagihan Januari dan Februari 2008 sudah pernah dibayarkan manajemen kepada pemasok itu, Ani Endang.

Sejatinya, ketika menejemen Ramayana pusat menerima invoice atas pembelian solar yang hanya melampirkan secarik kwitansi, patut dicurigai solar yang akan dibayarkan itu bukan solar keekonomian (solar industri.-red) yang diwajibkan Pertamina bagi Ramayana. Apalagi Ramayana juga sudah memasang, Bambang, kepala securiti Ramayana Bontang, sebagai mata dan telinga manajemen Ramayana pusat. Artinya, Ramayana jelas-jelas dengan sadar sudah membeli solar tanpa Delivery Order (DO) Pertamina. Dari hal ini, patut diduga manajemen Ramayana-lah yang ‘melegalkan’ solar ilegal.

Terbukti, yang membeli solar bukanlah Rahmad, karena bukan Rahmad yang membayar solar itu. Yang membayar adalah PT Ramayana Tbk itu. Kalaupun Rahmad terlibat dalam pembahasan kesepakatan pembelian, itupun Rahmad dalam posisi ‘on behalf of’ atau yang mewakili perusahaan. Ia bukanlah orang yang bertanggungjawab. Karena keputusan dan atau yang memutuskan jadi atau tidaknya kesepahaman itu ada pada pihak manajemen PT Ramayana Tbk. Satu bentuk kesepakatan/kesepahaman/ perjanjian jelas tidak mempunyai kekuatan hukum secara yuridis-formil jika tidak ditandatangani oleh pihak manajemen Ramayana. Yang memutuskan jadi atau tidaknya membeli solar itu jelas ada pada pihak manajemen Ramayana. Karena yang memutuskan akan membayar atas pembelian solar yang bukan peruntukkannya itu, juga ada pada pihak manajemen Ramayana.

Lain lagi ketika New-Eksekutor masih investigasi penggunaan solar oleh Ramayana ini. Asep, petugas Ramayana yang tugasnya menerima solar dengan jerigen 30 literan itu. Ia dengan begitu pede-nya memperlihatkan pada New-Eksekutor, DO pertamina atas nama perusahaan Ani Endang dan termaktub harga industri. “Anda lihat sendiri kan. Kami membeli solar dengan DO dan harga industri,” Ujar Asep meyakinkan New Eksekutor. Semestinya, DO inilah yang menjadi bukti pendukung saat sidang. Tapi yang muncul hanya secarik kwitansi. DO Pertamina itu kemana? Dari hal ini, patut diduga dan dicurigai, pihak Ramayana menghindar dari tuduhan penggunaan DO Pertamina aspal (asli tapi palsu,-red) itu.

Sebagai contoh kasus, di Pengadilan Negeri Bontang saat ini tengah bergulir kasus yang mirip sama. Sebuah perusahaan rental alat berat didakwa menggunakan solar subsidi untuk alat berat yang direntalkan itu. Dalam persidangan terbukti tidak ada kesepakatan antara pimpinan perusahaan, kasir/bendahara, sopir yang membeli solar dan pemasok (dalam hal ini SPBU-Red).

Pada pembuktian sidang, pimpinan usaha, Hartoyo tidak terbukti secara formal menginstuksikan kasir atau bendahara maupun sopir untuk menggunakan solar subsidi. Keputusan menggunakan, membeli dan membayar solar subsidi ada pada sopir kendaraan jenis dumb-truck itu. Tetapi pada kasus ini, pimpinan usaha, Hartoyo, yang duduk sebagai terdakwa. Bukan si sopir dumb-truck yang jelas-jelas telah memutuskan dan melakukan pembayaran atas pembelian solar yang bukan peruntukannya itu.

Apa yang membedakan kasus Hartoyo ini dengan kasus Ramayana?

Yang membedakan, kasus Hartoyo hanya menggunakan ratusan liter solar perbulan. Sedangkan Ramayana menggunakan sekurangnya 80 ton solar dalam sebulannya. Artinya Hartoyo berpotensi merugikan negara Rp 15 juta-an sebulannya dan Ramayana berpotensi merugikan negara Rp 1 Milyar untuk 4 bulan pemakaian solar. Ironisnya, Hartoyo dalam kapasitasnya sebagai pimpinan perusahaan, dihadapkan pada ancaman hukuman yang sama dengan seorang karyawan Ramayana yang tidak memiliki kapasitas untuk transaksi ratusan juta Rupiah perbulannya itu.

Namun perbedaan si terdakwa yang duduk dikursi pesakitan itu tentu bukan karena Hartoyo hanya seorang pengusaha kecil dari daerah tingkat II di pedalaman Kalimantan Timur dan PT Ramayana Tbk, sebuah perusahaan nasional. Indonesia layak menangis bila dunia hukum kita mengadakan pembedaan seperti itu.

Semoga saja tidak.

Ketika persidangan memasuki sidang ke-4, New Eksekutor ‘mencium’ kedatangan Winarno lagi ke Bontang. Kedatangannya kali ini ditengarai mau ‘baku atur’ dengan hakim, jaksa dan polisi. Namun ketika dikonfirmasi, ke-tiga pihak itu mengaku tidak mengetahui kedatangan Winarno itu. Tetapi yang pasti setelah kedatangan Winarno itu, Rahmad sudah tidak lagi bermalam di hotel Prodeo, Polres Bontang. Kini ia tinggal bersama Asep dan Triatmanto (kepala toko pengganti Rahmad,-Red) di kawasan perumahan Pupuk Kaltim yang disewa oleh Ramayana.

Kini persidangan memasuki tahapan pembacaan tuntutan. Namun terulur hingga sebulan lebih. Kabarnya menunggu surat balasan dari Kejagung. Karena kasus ini bersentuhan dengan UU Migas. Sejatinya para penegak hukum kembali mengingat konsep penegakan hukum, “Lebih baik membebaskan 10 orang yang bersalah, dari pada menghukum 1 orang yang tidak bersalah.” Seperti yang dituturkan Ali Sobirin SH, kepala humas Pengadilan Negeri Bontang yang juga menjadi salah satu hakim anggota dalam kasus solar Ramayana ini.

Apakah Rahmad bersalah? God Knows.

Tidak ada komentar: