10 September 2008

Dari Kisruh Pencalegan Partai Golkar Bontang


- Ketua DPC Partai Golkat Bontang, Sofyan tetap tenang.

Bontang.- Berawal dari proses penyusunan dan penetapan calon legislatif DPD II Partai Golkar. Sekurangnya 100 perwakilan kader Golkar sempat menduduki kantor Sekretariat Golkar Bontang di Jl KS Tubun. Mereka protes, atas keputusan tim verifikasi yang dinilai tidak objektif dalam penentuan nomor urut caleg. Hasil rekomendasi tim verifikasi caleg Golkar, mengusulkan nama Abdul Waris Karim, HM Nawir, dan Sri Asih masing masing nomor urut satu, dua dan tiga di daerah pemilihan (Dapil) Bontang Selatan. Lalu, nama Kaharuddin Jafar, Abdul Kadir Tappa dan Neni Moerniaeni di dapil Bontang Utara. Kemudian, dapil Bontang Barat diusulkan Ny Amri, Subhan dan Andre Gani. Waris Karim dan Kaharuddin Jafar sendiri adalah ketua harian dan sekretaris DPD II Golkar yang menjadi anggota tim verifikasi. Yang menajdi masalah, sebagian besar anggota tim verifikasi menempati posisi nomor urut satu, dua dan tiga. Sejatinya, penentuan nomor urut harusnya disesuaikan hasil scoring kader dengan indikator, senioritas, loyalitas, prestasi. Sesuai ketentuan rapat pimpinan Partai Golkar di Jakarta baru-baru ini.

Selain itu, mereka menginginkan caleg Golkar Bontang terbebas dari indikasi kasus hukum. "Agung Laksono sendiri yang bilang kalau caleg yang pernah terindikasi melakukan kasus hukum agar tidak diprioritaskan. Tidak diberi nomor cantik," kata Rahman Ukkas, seorang simpatisan, dan juga Caleg yang berstatus Wakil Sekretaris DPD II Partai Golkar Bontang.

Rahman mengatakan, jika sampai besok (hari ini) siang pukul 13.00 wita tidak ada kepastian tim verifikasi dan pimpinan Partai Golkar, maka tidak ada jaminan simpatisan Partai Golkar bakal beralih ke partai lain. "Kami hanya ingin mereka konsisten dengan hasil Rapimnas yang menghasilkan keputusan DPP Partai Golkar Nomor:Kep-143/DPP/Golkar/II/2007," ujarnya.

Namun Ketua Umum Partai Golkar Bontang Andi Sofyan Hasdam mengatakan, gejolak massa yang datang ke kantor DPD Golkar adalah sejumlah caleg yang ingin namanya di nomor urut atas.

"Tapi itu kan itu tergantung dari hasil verifikasi internal. Apalagi di Golkar sebetulnya ketegangan ini tidak perlu muncul karena DPP sudah memutuskan, yang terpilih adalah Calon dengan suara terbanyak. Kita di nomor 10 dan 11 kalau dia lebih banyak, maka dia yang duduk bukan yang di atas," ujarnya.

Keputusan tersebut kata Sofyan sudah maju dan demokratis. Soal tim verifikasi, Sofyan mengatakan, hal itu sudah menjadi aturan DPP. "Kemarin ada keinginan kita untuk mengeliminir itu. Sekarang verifikasi itu saya tangani sendiri, sehingga kita akan tampilkan yang objektif." kata Sofyan.

Walikota Bontang ini mengimbau kader Golkar agar tidak mempersoalkan hal ini, karena sangat bergantung pada basis massa yang dimiliki. "Kalau punya basis massa kuat, saya kira tidak ada masalah," ujarnya.

Dari sinyalemen yang mengemuka belakangan, ada indikasi rencana pengunduran diri caleg dari kader loyal namun mendapat nomor ’sepatu’. Kabarnya, caleg nomor urut 4, 5 & 6 akan mengundurkan diri sebelum penetapan caleg oleh KPU medio September ini. (Erwin Lumenta)

KPK, Diantara Momok dan Malaikat

Melihat Dari Dekat

KPK, Diantara Momok dan Malaikat.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), salah satu lembaga termuda di negeri ini, tetapi kiprahnya patut diacungi jempol. Pasalnya, terbukti mampu mengungkap sejumlah kasus korpusi yang melibatkan aparatur negara. Seperti Gubernur, Bupati, anggota DPR, jenderal bahkan pejabat Kejaksaan Agung. Dalam menjalankan aksinya, KPK menggunakan berbagai cara, mulai dari membuntuti calon tersangka, melakukan penggeledahan, bahkan menyadap pembicaraan telepon. Ujung-ujungnya, mereka yang memiliki track record relatif bersih pun merasa terganggu. Ironisnya, KPK kini juga memeriksa angpau setiap ada pejabat yang mengadakan perhelatan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi anggota kerluarganya. Etiskah?

Belum lagi ulah pengadilan Tipikor menguak semua aib para pejabat negara yang tertangkap tangan dengan mengumumkan secara nasional isi percakapan hasil sadapan telepon. Padahal hal ini tidak dapat dilakukan oleh Badan Intelijen Negara (BIN). Lihat saja Al Amin nur Nasution yang tidak hanya ditertawai karena mengiyakan pertemuan dengan sang pemberi uang panas. Amin pun harus merah-padam karena kesukaannya pada wanita penghibur dikuak secara umum, yang bahkan mengakibatkan retaknya rumah tangga Amin.

KPK, sejauh ini memang tak terbendung namun seyogyanya cukup melingkup tindak pidana korusi. Tidak melebar kepada pembunuhan karakter seseorang dengan menguak aib lainnya yang berada diluar bidang perkara KPK. Tapi, siapa yang berani menghadang KPK?

Kesan yang muncul ketika menghadang sepak terjang KPK diartikan anti pemberantasan korupsi membuat banyak pihak urung urun suara. Alhasil, KPK semakin unjuk gigi. Terbukti, semua yang dilakukan KPK berhasil mengangkat image lembaga independen ini. Perlu diingat, sebanyak 6000 kasus dugaan korupsi di tahun 2006, hanya 7 kasus yang ditindak lanjuti. Dari target pengembalian ratusan miliar uang negara yang dikorupsi, hanya 17 miliar yang dapat dikembalikan.

Korupsi, menurut Transparancy International, perilaku pejabat publik, politikus/politisi, pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya melalui penyalahgunaan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Indonesia sudah lama dikenal sebagai negara dengan angka korupsi yang tinggi. Korupsi bagai penyakit yang sudah menjangkiti sebagian besar pemerintah bahkan rakyatnya. Namun hal ini bukanlah berarti upaya pemberantasan korupsi tidak berjalan. Sebenarnya, upaya pemberantasan korupsi sudah dimulai sejak zaman orde lama, orde baru, hingga era reformasi. Dengan dijalankannya operasi Budhi, Operasi tertib, hingga dibentuknya lembaga Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN).

Namun berbagai upaya tersebut tidak membuahkan hasil dan tak kunjung mengurangi minat pejabat negara untuk melakukan korupsi. Sehingga lembaga bentukan pemerintah untuk memerangi korupsi terkesan hanya simbol semata. Sejalan dengan era kebebasan informasi yang membuat rakyat semakin kritis, akhirnya pemerintah pada tahun 2002 mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK dibentuk melalui Undang-undang no 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tujuannya, untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi.

Bila ditelusuri, selama ini pemberantasan korupsi hanya dilaksanakan oleh instansi seperti Kejaksaan dan Kepolisian. Terbukti dalam perjalanannya, mengalami banyak hambatan, utamanya campur tangan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Karena itulah KPK dibentuk dengan metode penegakkan hukum sebagai badan khusus yang mengatasi dan memberantas korupsi. Tidak tanggung-tanggung, KPK diberikan kewenangan yang luas (kewenangan penyelidikan, penyidikan, penuntutan) dan independen (mandiri, bebas dari kekuasaan manapun). Terbentuklah lembaga super yang bernama KPK yang bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna upaya pemberantasan korupsi.

KPK dengan visinya ”Mewujudkan Indonesia yang Bebas Korupsi” memang berbeda dengan lembaga sejenis yang pernah dibentuk. KPK sekarang tidak menunggu bola, ia mampu mengungkap kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat negara. Berbagai cara dilakukan KPK dalam mengungkap kasus-kasus korupsi tersebut. Misalnya penyadapan pembicaraan telepon, membuntuti calon tersangka, sampai tertangkap tangan menerima suap. Juga penggeledahan, tidak peduli dimanapun tersangka bertempat tinggal dan bekerja. Ruang kerja anggota DPR disenayan pun tak lepas dari sentuhan penggeledahan. Karena itulah, kini banyak pihak yang bertanya sampai dimana batas kewenangan KPK dalam melaksanakan tugas.

Kewenangan besar dan luas yang dimiliki KPK membuat lembaga ini sebagai lembaga super. Karena lembaga ini berhak memeriksa lembaga apapun dan individu manapun yang disinyalir melakukan korupsi. Tak heran banyak pihak yang ketar-ketir. Termasuk ketua fraksi Partai Golkar, Priyo Budi Santoso. Ia sempat mempertimbangkan kemungkinan mengevaluasi lembaga bentukan DPR ini yang kewenangannya besar sekali. Ujung-ujungnya, tercatat sudah lebih dari 7 kali permohonan judicial review terhadap UU 30 tahun 2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK sendiri sudah 2 kali mengkoreksi kewenangan pemberatnasan korupsi melalui putusannya. KPK tidak dapat berlaku surut (retoraktif), sehingga KPK tidak bisa mengusut perkara korupsi sebelum berlakunya UU. Kedua, delik materiil dalam pembuktian tindak pidana korupsi tidak dapat digunakan lagi.

Meskpun demikian, kewenangan KPK seperti penyadapan pembicaraan telepon sesungguhnya tidak perlu diragukan lagi, karena sudah memiliki dasar hukum yang jelas, UU 30 th 2002. Jika KPK mengguankan dasar hukum Depkominfo dalam penyadapan pun tidak ada masalah, karena hanya mengatur masalah teknis saja. Hal ini berlaku juga dalam penggeledahan oleh KPK dalam memperoleh bukti untuk memperkuat dugaan korupsi. Karena diperkuat oleh pasal 33 dan 35 UU no. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Jadi penyidik KPK berhak melakukan penggeledahan ke lembaga MPR, DPR, DPD, DPRD jika tidak ada sidang atau pada masa reses. Hak penggeledahan dan penyadapan KPK merupakan indikasi tidak adanya sikap tebang pilih atau diskriminasi terhadap siapapun yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Terlepas dari latar belakang etnis, politik bahkan kedudukan seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka.

Oleh karena itu, sejatinya kewenangan KPK tidak dilihat sebagai ancaman, melainkan harapan. Supaya anggota KPK dapat menggunakan kewenangannya sebijak mungkin untuk memberantas korupsi. Pada gilirannya tentu uang rakyat yang dikorupsi dapat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Semoga. (Erwin Lumenta)

Buah Simalakama

Buah Simalakama “Dana Bansos”

- 2007, Rp 40 Milyar dan Semester pertama 2008, Rp 10 Milyar.

- Rp 10.9 Milyar Belum Dipertanggungjawabkan

- Tujuh Parpol Belum Sampaikan LPj Bansos 2007

- Ketua Komisi II Juga Terima Bansos-Beasiswa S2

BONTANG- Kalangan anggota dewan di DPRD Kota Bontang merasa geram. Hal ini menyusul besarnya anggaran dana bantuan sosial (Bansos) di tahun 2007 yang mencapai Rp 40 miliar. Tak urung, mereka mendesak Pemerintah Kota agar segera menjelaskan penyebab bengkaknya anggaran Bansos ini.

"Memang anggaran tidak dirinci sehingga kami tidak tahu kalau dana bansos sebesar itu (Rp 40 milyar,red). Nanti akan kita tanyakan," ucap Wakil Ketua DPRD Isro Umarghani,

Hal senada juga disampaikan, Ketua Komisi II Abdul Choliq Hidajat dan Sekretaris, M Nurdin yang meminta agar Pemkot memberikan penjelasan.

Namun Sekretaris Daerah, Adi Dharma yang juga ketua panitia anggaran eksekutif, mengatakan siap dipanggil DPRD. Persoalan Bansos, kata Adi, telah melalui pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan dan tidak ditemukan indikasi penyimpangan. "Semuanya sudah melalui pemeriksaan (BPK,red), memang kita diminta melengkapi SPJ dari pihak yang telah dibantu dan semuanya sudah dilengkapi," terang Adi.
Terkait besarnya anggaran bansos tahun 2007, ditegaskan Adi, karena banyaknya pihak pihak yang perlu dibantu. baik untuk kepentingan sarana keagamaan, sosial, hingga pendidikan.

Selain itu, tujuh dari 10 partai politik yang memiliki kursi di DPRD Bontang, ternyata belum menyerahkan laporan pertanggungjawaban bantuan dana bansos. Kesbanglinmas telah menyurat ke tujuh parpol penerima bansos tersebut namun tak digubris. "Realisasi bantuan keuangan kepada 10 parpol yang punya kursi di DPRD periode 2004-2009 sebesar Rp 475 juta, masih ada tujuh parpol yang belum memberikan pertanggungjawaban," tutur Walikota Sofyan Hasdam, saat menyampaikan jawaban eksekutif atas pandangan umum fraksi fraksi DPRD terhadap pertanggungjawaban APBD 2007.
Ketujuh Parpol tersebut yakni Golkar, PBB, PKS, PDI Perjuangan, Partai PDK, PBSD, dan Partai Demokrat. Sedangkan, tiga partai yang telah menyampaikan LPj anggaran masing masing Rp19,5 juta yaitu PAN, PKB dan PPP. Kesbanglinmas telah melayangkan surat nomor 200/442/B-KLMS tertanggal 17 Juli perihal laporan penggunaan bantuan keuangan parpol namun hingga kini belum dijawab.

Berdasarkan data Bagian Sosial, tahun 2006, terdapat sekitar Rp4,7 miliar dana bansos yang belum dipertanggungjawabkan. Sedangkan tahun 2007 sebesar Rp2,5 miliar dan tahun 2008 sebesar Rp3,7 miliar. Untuk diketahui, BPK memberi catatan Laporan secara global terhadap pertanggungjawaban anggaran 2007, menyimpulkan tidak wajar.

Belakangan, Abdul Choliq Hidajat yang meminta Bagian Sosial, agar melaporkan pihak penerima bansos yang tak memberikan laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran kepada polisi, ternyata tercatat juga sebagai pengguna dan bansos pos Beasiswa.Choliq menerima Bansos Pos Beasiswa Pendidikan sebesar Rp6,5 juta yang dicairkan Juni 2007 silam. "Ketika saya mengajukan permohonan sudah saya lampirkan asli kuitansi SPP Rp15 juta dari bagian administrasi program pascasarjana Unmul-Unair semester 4 dan cair Rp6,5 juta, dari Bansos," terangnya. Artinya, Choliq sudah melaporkan LPj Bansos yang diterimanya.

Adi Dharma, mengatakan data Bansos telah diketahui anggota Panggar DPRD Bontang. Sehingga, Pemkot tidak perlu melakukan publikasi penerima dana Bansos. "Datanya sangat banyak, lagipula seluruh anggota Panggar punya datanya (Bansos). mereka bisa mengecek sendiri"ujar Adi

Sofyan mengatakan, bantuan sosial selama ini telah sesuai prosedur dengan kronologis bantuan diberikan sesuai permohonan yang melampirkan susunan pengurus, fotokopi KTP, kwitansi, berita acara, dan ditandatangani di atas materai. ”Bantuan terdapat dalam rencana kerja (RK). Kabag Sosial melakukan telaah, lalu dibuatkan SK Wali Kota,” urainya. (Erwin Lumenta)