12 Juli 2008

Ramayana Dept Store Dan Solar Subsidi.


- Negara Dirugikan Rp 1 Milyar per 4 Bulan.

Hanya dalam waktu 4 bulan beroperasi, Ramayana,Dept Store-supermarket rugikan Negara Rp 1 Milyar. Supermarket-Dept Store kelas nasional yang bulan Maret tahun lalu berusia 30 tahun, Desember lalu membuka cabangnya di Kota Bontang. Di cabang yang ke 102 ini ditengarai tidak menggunakan solar yang diwajibkan oleh Pertamina. Yang pasti ratusan ribu liter sudah digunakan untuk operasional Ramayana. Dan tiap bulannya Negara berpotensi dirugikan sekitar Rp. 250 juta. Simak uraian investigasi wartawan Eksekutor, M Erwinsyah berikut ini.

Nota kesepahaman untuk kerjasama pengamanan distribusi bahan bakar bersubsidi antara Pertamina dan POLRI yang ditandatangani 13 Februari 2008 lalu agaknya belum terdengar di Kota Bontang. Butuh waktu untuk sosialisasi hingga pelosok nusantara. Namun yang pasti kerjasama Pertamina dan POLRI ini diharapkan dapat menyelamatkan uang negara yang disubsidi untuk bahan bakar rakyat. Terbukti, di kota Bontang, kota kecil hasil pemekaran dari Kabupaten Kutai ini tampaknya masih tenang-tenang saja. Pasalnya, sebuah Dept store-supermarket kelas nasional, Ramayana yang baru dibuka medio Desember tahun lalu ditengarai tidak menggunakan solar keekonomian (bahasa Pertamina untuk solar industri-red). Untuk Ramayana, jelas bukan unit usaha kecil, tidak diizinkan Pertamina menggunakan solar bersubsidi.

Dari pantauan Eksekutor, didapati pengisian solar untuk mesin pembangkit listrik/disel Ramayana menggunakan puluhan jerigen. Tercatat, pengiriman dilakukan hampir setiap hari, kadang dua hari sekali. Pengisian dengan menggunakan motor penyedot ini dilakukan dari jam 6 sore hingga jam 8 malam. Tentu untuk menghindari kecurigaan. Karena pada jam-jam tersebut seperti biasanya Kota Bontang sepi, bak kota mati. Rata-rata pengiriman 30 – 80 jerigen @ 30 liter. Sesaat setelah berhasil mengambil beberapa gambar, pemasok Ramayana, Endang dengan ramahnya menghampiri Eksekutor. Dengan entengnya ibu ini menjelaskan bagaimana solar yang dikatakannya solar industri ini bisa berada dalam puluhan jerigen itu.

Dikantornya, Endang memperlihatkan beberapa Delivery Order (DO) Pertamina. Tapi tak satupun dari DO itu yang menyebutkan perusahaan Endang, CV. Solo Indah Permai. Tapi sebuah perusahaan (CV) dan APMS (Agen Premium dan Minyak Solar) di Kongbeng, Muara Wahau, Kutai Timur. Harga tertera Rp 3.739,- perliter. Dengan entengnya Endang menyebutnya solar legal dengan DO. Padahal DO dimaksud tidak mewakili perusahaannya dan harga tercantum bukan harga keekonomian. Harga yang ditetapkan Pertamina untuk solar keekonomian per 1 Februari 2008 Rp 7.800,- perliter. Dalam perbincangan Endang kerap menyebuit beberapa oknum pejabat teras Polres, Polsek, Polisi Militer bahkan beberapa anggota DPRD Kota Bontang. Untuk orang awam mungkin akan gentar mendengarnya. Eksekutor bisa saja menganggap sebagai intimidasi. Tapi sebaliknya, Endang secara tidak langsung memberikan informasi siapa saja ‘pendukung’ Endang.

Ketika Eksekutor menemui Asep, petugas Ramayana yang menangani pengadaan solar ini, lain lagi ceritanya. Dia memperlihatkan DO justru atas nama usaha Endang dan dalam DO itu termaktub harga Rp 7.800,- perliter. Aneh. DO pemasok dengan DO Ramayana berbeda. Agaknya Pertamina pusat dan Auditor perlu cek dan ricek keaslian lampiran bukti pembelian solar dari Pertamina (DO) yang selama ini digunakan Ramayana Tbk. Dengan berbedanya DO pemasok dan Ramayana patut dicurigai DO itu aspal (Asli tapi Palsu-red). Ironisnya lagi Asep sempat mengatakan dia tidak mau tahu asal solar itu. “.. yang penting kami beli dengan harga yang wajar.” Kata Asep. Entah apa yang dimaksud ‘wajar’ itu. Namun sejatinya, ketika melihat pengisian dengan menggunakan jerigen atau drum sekalipun, patut diduga solar tersebut bukan solar industri. Kalau mau jujur, Asep sendiri tahu betul solar-solar itu dari nelayan dan atau koperasi nelayan. Tapi Asep memang beda (bukan hanya TV One memang beda-red)

Ramayana cabang ke 102 ini beromzet Rp 6,8 M perbulan mengkonsumsi sekitar 80.000 liter. Dengan kebutuhan Senin-Jumat sekitar 1.600-1.800 liter. Tapi untuk hari Sabtu dan Minggu menggunakan 2.400-2.600 liter perharinya. Cadangan minimum sebagai Safety Factor pada awalnya sebanyak 5.000 liter. Belakangan ditingkatkan menjadi 10.000 liter. Apalagi dengan efektifnya Kentucky Fried Chicken beroperasi. Artinya, setidaknya harus ada 15.000 liter saat operasional. Lalu bagaimana Endang mensuplai kebutuhan Ramayana yang tidak kecil ini. Di Kota Bontang hanya ada 1 SPBN (Stasiun Pengisian Bahan-bakar Nelayan), 1 APMS, 3 SPBU (Stasiun Pengisian Bahan-bakar Umum).

Tapi jangan salah, di SPBN milik Perusda Kota Bontang, menurut petugas resmi dengan seragamnya, pengisian dengan drum sekalipun dilayani asal melalui air atau dari atas kapal/perahu. Sedikit berbeda dengan di APMS milik Koperasi Bolumbuen PT Badak NGL. Disini hanya mau melayani pembelian dengan jerigen. Sekalipun demikian, dari kedua tempat ini pun tidak dapat memenuhi kebutuhan solar Ramayana yang rata-rata mencapai 2 ton lebih perharinya. Lalu dari mana si Endang mendapatkan kekurangannya?

Usut punya usut, Endang mengumpulkan antara lain dari koperasi-koperasi nelayan dan dari nelayan langsung. Beberapa nelayan yang nyambi jual solar mengaku mendapat solar dari kapal tanker yang maaf ‘kencing’ (Sudah menjadi kebiasaan, tanker-2 yang kelebihan solar, menjualnya pada nelayan. Daripada harus pulang dengan kelebihan solar, yang berakibat dikuranginya jatah solar pada trip berikutnya. Namun bila nelayan tidak bisa lagi menampung, sambil berlayar tanker membuang solar sisa itu ke laut. Sudah biasa!?. red) Kemudian nelayan menjualnya dengan harga Rp 4.700 - Rp5.000 perliter. Kemudian pemasok menjual ke Ramayana dengan harga sekitar Rp 5.700 – Rp 6.000 perliter. Tetapi Ramayana membuat tagihan sesuai DO dengan harga Rp 7.800. Berarti Ramayana pusat Jakarta membayar sesuai DO Pertamina dengan harga solar keekonomian alias solar industri. Alhasil anggaran yang harus dibayarkan Ramayana untuk solar saja berkisar Rp 500 juta perbulannya. Lalu selisihnya kemana? God knows..

Ada cerita lain dibalik penggunaan solar subsidi oleh Ramayana. Sumber Eksekutor yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan Ramayana merasa dirugikan dengan laporan jumlah penduduk yang berbeda dengan kenyataan. Dalam laporan, ditambahkan juga jumlah penduduk Sangatta, kota yang letaknya 60 kilometer utara kota Bontang. Selain itu, pengelolaan lahan parkir di halaman Ramayana. Ramayana berharap pemasukkan dari parkir itu setidaknya dapat memperkecil kerugian. Tapi kenyataan, dikelola Perusda Kota Bontang tanpa bagi hasil. Padahal hasilnya lumayan. Pada bulan pertama saja terkumpul Rp 50 juta. Ujug-ujug, Ramayana gunakan bahan bakar murah.

Untuk pemberitaan yang berimbang, Eksekutor mendatangi Kapolres Bontang, AKBP Dono Indarto SIK untuk konformasi. Tapi ia super sibuk, jarang ada ditempat. Eksekutor pun mendatangi Intel Kodim 0908 Bontang, Kapten Sarwono. Ia mengaku tidak tahu soal suplai solar Endang ke Ramayana. Tapi diakui, sebelum Endang ada oknum tentara berpangkat Kapten yang pernah mensuplai solar ke Ramayana. Weleh-weleh.. Siapa gerang Endang ini hingga bisa menggeser seorang tentara berpangkat Kapten itu.

Untuk melengkapi informasi, Ekskutor pun menjalin komunikasi dengan Pertamina Pusat ihwal solar subsidi dan solar keekonomian. Singkatnya, Pertamina merekomendasikan untuk melaporkan temuan penyalahgunaan bahan bakar bersubsidi ini ke PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil). Sebuah lembaga dibawah Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi yang berkantor di Plaza Centris, Kuningan, Jakarta. Dikatakan, PPNS ini adalah kumpulan petugas dari Dirjen Migas, Kementrian ESDM, BPH Migas dan Kepolisian. Lembaga ini bertugas menangani penyalahgunaan BBM bersubsidi.

Kerjasama pengamanan lingkungan usaha minyak dan gas bumi antara Pertamina dan POLRI ternyata sudah berlangsung lebih dari seperempat abad. Tercatat melalui SK bersama POLRI dan Pertamina No. SKEP/E/30/V/1974 dan No. 890/Kpts/DR/DU/1974. Selanjutnya pada tahun 2002, Pertamina dan POLRI melaksanakan kesepakatan kerjasama melalui SK No. SKEP/547/VII/2002 dan No. Kpts-092/C00000/2002-SO. Namun upaya penanggulangan masalah penyelewengan BBM memerlukan komitmen kerjasama dan sinergitas antara Pertamina dengan beberapa instansi terkait. Antara lain Kementrian ESDM, BPH Migas, POLRI, Direktorat Jenderal Bea & Cukai, Kejaksaan Agung dan Instansi Pemerintah lainnya. Semoga saja.

Undang-undang tentang Perniagaan Pasal 480 dan Undang-undang tentang Migas Pasal 52 poin (d) serta Peraturan Menteri juga Peraturan Pemerintah bakal menghadang Ramayana. Bahkan beberapa Ramayana cabang didaerah lainnya menunggu giliran. Agaknya cabang Pontianak menjadi bidikan lanjutan PPNS. Dari pengakuan petugas Ramayana Bontang yang tidak mau disebutkan namanya, kebijakan menggunakan solar murah ini secara tidak langsung sudah menjadi kebijakan pusat. “Emang sudah sistim dari pusat begitu. Atur aja.., urus aja.. Kalo udah begitu kami sudah bisa menafsirkan. Ya dengan cara yang seperti ini..” kata dia. Ada apa gerang dengan Agus Makmur di Jakarta sana?

Keberadaan Ramayana, Dept. Store-Supermarket kelas nasional, memang ditunggu kehadirannya di Kota Bontang. Tapi justru sebaliknya bagi para pedagang kecil. Pedagang pasar Rawa Indah, Pasar Berbas, jelas ketar-ketir dengan kehadiran Ramayana. Pasalnya, Ramayana menjual produk pakaian jadi dengan harga jauh lebih murah. Contoh sebelumnya terjadi ketika toko ‘serbu’ X-Toys. Seminggu setelah dibuka awal November tahun lalu, di demo oleh sekelompok pedagang Rawa Indah yang menamakan diri Forum Pedagang Rawa Indah. Forum ini memprotes X-Toys karena menjual barang dianggap sama-sekualitas tetapi dengan harga yang jauh lebih murah. Ujung-ujungnya, ditutup Pemkot Bontang hampir dua bulan. Walau dengan alasan tidak menyediakan lahan untuk parkir atau menyalahi besllag. Tetapi nuansa persaingan usaha tetap jelas terlihat.

Belum lagi Ramayana hadir dengan Supermarketnya, yang menjual produk yang sama yang dijual pasar tradisional. Praktis komunitas berduit, PT Badak dan PT Pupuk Kaltim, lebih memilih belanja kebutuhan dapurnya di tempat yang lebih bersih dan nyaman. Daripada harus berdesakan dengan aroma yang tidak sedap di pasar tradisional. Untuk harga, jelas tidak masalah bagi mereka. Dengan kompensasi kenyamanan berbelanja selisih harga agaknya pun tidak masalah. Imbasnya, tentu pedagang pasar tradisionil.

Ramayana yang beberapa tahun lalu sempat tersandung kasus pembelian dolar senilai Rp 1,3 Triliun yang dilakukan pemilik, Paulus Tumewu di Batam, agaknya bakal tersandung lagi. Bersyukur Agus Makmur, Direktur Utama, sigap dan gesit hingga selamatlah seorang warga keturunan Tionghoa yang besar di Makassar ini dari denda yang disinyalir sebesar Rp 500 Miliar. Namun kali ini agaknya Moh Iqbal, Direktur umum (yang membawahi seluruh cabang-cabang-red) dan Setiyadi Surya, Direktur General Affair yang bakal disibukkan lagi. Seperti yang pernah Eksekutor dan rekan wartawan Jakarta alami ketika menelusuri jejak Money Laundring yang saat itu ditudingkan pada Paulus Tumewu. Selain itu sudah tentu Purnawirawan Kombes, Winarno yang bakal dihadapkan dengan kami di Kantor Pusat Ramayana di Wahid Hasyim, Jakarta. Kita lihat saja.

Tidak ada komentar: