10 September 2008

KPK, Diantara Momok dan Malaikat

Melihat Dari Dekat

KPK, Diantara Momok dan Malaikat.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), salah satu lembaga termuda di negeri ini, tetapi kiprahnya patut diacungi jempol. Pasalnya, terbukti mampu mengungkap sejumlah kasus korpusi yang melibatkan aparatur negara. Seperti Gubernur, Bupati, anggota DPR, jenderal bahkan pejabat Kejaksaan Agung. Dalam menjalankan aksinya, KPK menggunakan berbagai cara, mulai dari membuntuti calon tersangka, melakukan penggeledahan, bahkan menyadap pembicaraan telepon. Ujung-ujungnya, mereka yang memiliki track record relatif bersih pun merasa terganggu. Ironisnya, KPK kini juga memeriksa angpau setiap ada pejabat yang mengadakan perhelatan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi anggota kerluarganya. Etiskah?

Belum lagi ulah pengadilan Tipikor menguak semua aib para pejabat negara yang tertangkap tangan dengan mengumumkan secara nasional isi percakapan hasil sadapan telepon. Padahal hal ini tidak dapat dilakukan oleh Badan Intelijen Negara (BIN). Lihat saja Al Amin nur Nasution yang tidak hanya ditertawai karena mengiyakan pertemuan dengan sang pemberi uang panas. Amin pun harus merah-padam karena kesukaannya pada wanita penghibur dikuak secara umum, yang bahkan mengakibatkan retaknya rumah tangga Amin.

KPK, sejauh ini memang tak terbendung namun seyogyanya cukup melingkup tindak pidana korusi. Tidak melebar kepada pembunuhan karakter seseorang dengan menguak aib lainnya yang berada diluar bidang perkara KPK. Tapi, siapa yang berani menghadang KPK?

Kesan yang muncul ketika menghadang sepak terjang KPK diartikan anti pemberantasan korupsi membuat banyak pihak urung urun suara. Alhasil, KPK semakin unjuk gigi. Terbukti, semua yang dilakukan KPK berhasil mengangkat image lembaga independen ini. Perlu diingat, sebanyak 6000 kasus dugaan korupsi di tahun 2006, hanya 7 kasus yang ditindak lanjuti. Dari target pengembalian ratusan miliar uang negara yang dikorupsi, hanya 17 miliar yang dapat dikembalikan.

Korupsi, menurut Transparancy International, perilaku pejabat publik, politikus/politisi, pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya melalui penyalahgunaan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Indonesia sudah lama dikenal sebagai negara dengan angka korupsi yang tinggi. Korupsi bagai penyakit yang sudah menjangkiti sebagian besar pemerintah bahkan rakyatnya. Namun hal ini bukanlah berarti upaya pemberantasan korupsi tidak berjalan. Sebenarnya, upaya pemberantasan korupsi sudah dimulai sejak zaman orde lama, orde baru, hingga era reformasi. Dengan dijalankannya operasi Budhi, Operasi tertib, hingga dibentuknya lembaga Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN).

Namun berbagai upaya tersebut tidak membuahkan hasil dan tak kunjung mengurangi minat pejabat negara untuk melakukan korupsi. Sehingga lembaga bentukan pemerintah untuk memerangi korupsi terkesan hanya simbol semata. Sejalan dengan era kebebasan informasi yang membuat rakyat semakin kritis, akhirnya pemerintah pada tahun 2002 mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK dibentuk melalui Undang-undang no 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tujuannya, untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi.

Bila ditelusuri, selama ini pemberantasan korupsi hanya dilaksanakan oleh instansi seperti Kejaksaan dan Kepolisian. Terbukti dalam perjalanannya, mengalami banyak hambatan, utamanya campur tangan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Karena itulah KPK dibentuk dengan metode penegakkan hukum sebagai badan khusus yang mengatasi dan memberantas korupsi. Tidak tanggung-tanggung, KPK diberikan kewenangan yang luas (kewenangan penyelidikan, penyidikan, penuntutan) dan independen (mandiri, bebas dari kekuasaan manapun). Terbentuklah lembaga super yang bernama KPK yang bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna upaya pemberantasan korupsi.

KPK dengan visinya ”Mewujudkan Indonesia yang Bebas Korupsi” memang berbeda dengan lembaga sejenis yang pernah dibentuk. KPK sekarang tidak menunggu bola, ia mampu mengungkap kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat negara. Berbagai cara dilakukan KPK dalam mengungkap kasus-kasus korupsi tersebut. Misalnya penyadapan pembicaraan telepon, membuntuti calon tersangka, sampai tertangkap tangan menerima suap. Juga penggeledahan, tidak peduli dimanapun tersangka bertempat tinggal dan bekerja. Ruang kerja anggota DPR disenayan pun tak lepas dari sentuhan penggeledahan. Karena itulah, kini banyak pihak yang bertanya sampai dimana batas kewenangan KPK dalam melaksanakan tugas.

Kewenangan besar dan luas yang dimiliki KPK membuat lembaga ini sebagai lembaga super. Karena lembaga ini berhak memeriksa lembaga apapun dan individu manapun yang disinyalir melakukan korupsi. Tak heran banyak pihak yang ketar-ketir. Termasuk ketua fraksi Partai Golkar, Priyo Budi Santoso. Ia sempat mempertimbangkan kemungkinan mengevaluasi lembaga bentukan DPR ini yang kewenangannya besar sekali. Ujung-ujungnya, tercatat sudah lebih dari 7 kali permohonan judicial review terhadap UU 30 tahun 2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK sendiri sudah 2 kali mengkoreksi kewenangan pemberatnasan korupsi melalui putusannya. KPK tidak dapat berlaku surut (retoraktif), sehingga KPK tidak bisa mengusut perkara korupsi sebelum berlakunya UU. Kedua, delik materiil dalam pembuktian tindak pidana korupsi tidak dapat digunakan lagi.

Meskpun demikian, kewenangan KPK seperti penyadapan pembicaraan telepon sesungguhnya tidak perlu diragukan lagi, karena sudah memiliki dasar hukum yang jelas, UU 30 th 2002. Jika KPK mengguankan dasar hukum Depkominfo dalam penyadapan pun tidak ada masalah, karena hanya mengatur masalah teknis saja. Hal ini berlaku juga dalam penggeledahan oleh KPK dalam memperoleh bukti untuk memperkuat dugaan korupsi. Karena diperkuat oleh pasal 33 dan 35 UU no. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Jadi penyidik KPK berhak melakukan penggeledahan ke lembaga MPR, DPR, DPD, DPRD jika tidak ada sidang atau pada masa reses. Hak penggeledahan dan penyadapan KPK merupakan indikasi tidak adanya sikap tebang pilih atau diskriminasi terhadap siapapun yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Terlepas dari latar belakang etnis, politik bahkan kedudukan seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka.

Oleh karena itu, sejatinya kewenangan KPK tidak dilihat sebagai ancaman, melainkan harapan. Supaya anggota KPK dapat menggunakan kewenangannya sebijak mungkin untuk memberantas korupsi. Pada gilirannya tentu uang rakyat yang dikorupsi dapat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Semoga. (Erwin Lumenta)

Tidak ada komentar: